Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang memiiki saudara di daerah Tegal, dan saudaranya itu termasuk penikmat teh. Teman saya bercerita, menurut saudaranya itu, ada sebuah makna yang terdapat pada penyajian teh.

Di Tegal, ternyata suka atau tidak sukanya tuan rumah dengan tamu yang datang berkunjung bisa dilihat dari teh yang disajikan. Ketika si tuan rumah menyajikan teh yang tipis kepekatannya dan tidak panas, maka tuan rumah tersebut tidak ingin berlama-lama dengan tamunya tersebut.

Lalu kebalikannya, ketika sang tamu dihidangkan teh yang cukup pekat (kentel) dan panas, maka bisa dikatakan jika tuan rumah senang dengan kedatangan tamunya tersebut

Ya, ternyata waktu untuk menghabiskan hidangan teh bisa dijadikan parameter dan tolak ukur kapan tamu itu harus pulang. Teh yang tidak pekat dan tidak panas, otomatis lebih cepat dihabiskan daripada teh yang lebih pekat dan lebih panas.

Dan ada satu lagi etika yang terdapat pada penyajian teh. Saat menuang teh, alangkah lebih baik jika tuan rumah menuang teh untuk dirinya sendiri, baru setelah itu menuangkan untuk tamunya. Mungkin terkesan janggal, dan egois, tapi memang seperti itulah pelayanan yang sebenarnya.

Karena dalam sebuah teko yang berisi air teh, kualitas teh di lapisan atas tak sebaik teh yang berada di bagian bawah. Dengan menuang teh terlebih dulu, itu artinya kita memberikan teh yang terbaik untuk tamu.

Sederhana, tetapi penuh makna.