Welcome to our website !

Meskipun banyak terdapat di Jepang, tetapi Teh Hijau sebenarnya sudah ada di Cina semenjak 4000 tahun lebih yang lalu (2700 tahun SM), di Cina. Awalnya, teh hijau digunakan sebagai minuman biasa pada era Kaisar Shen Nung. Baru sekitar 200 tahun SM dalam buku tanaman obat Cina disebutkan daun teh berkhasiat menghilangkan racun dari tubuh. Sementara di Jepang sendiri, baru mengenal teh hijau semenjak 6 tahun SM.

Penelitian tentang teh hijau terus dilakukan hingga pada tahun 2004 diketahuilah secara menyeluruh adanya komponen-komponen dalam teh hijau sebagai antioksidan kuat. Yang mampu menangkal serangan radikal bebas yang menyebabkan gangguan degenerasi pada organ-organ manusia. Termasuk timbulnya berbagai jenis kanker, di antaranya di esofagus (saluran masuk makanan ke lambung), lambung, pankreas, usus, dubur, kandung kemih, prostat, bahkan juga paru-paru dan payudara.

Ketika mulai memasuki Jepang, teh hijau langsung diminati oleh hampir seluruh penduduk negeri matahari terbit itu. Hal tersebut membuat teh hijau menjadi salah satu minuman favorit warga Jepang. Di Jepang, teh hijau adalah minuman kedua terfavorit setelah Sake (arak khas Jepang).

Oleh masyarakat Jepang, Teh Hijau dijadikan banyak jenisnya. Apa saja itu? Mari kita ulas satu persatu.

Gyokuro

Teh terpilih dari daun teh kelas atas yang disebut Tencha. Teh dinamakan Gyokuro karena warna hijau pucat yang keluar dari daun teh. Daun dilindungi dari terpaan sinar matahari sehingga mempunyai aroma yang sangat harum.


Matcha

Teh hijau berkualitas tinggi yang digiling menjadi bubuk teh dan dipakai untuk upacara minum teh. Matcha mempunyai aroma yang harum sehingga digunakan sebagai perasa untuk es krim rasa teh hijau, berbagai jenis kue tradisional Jepang (wagashi), berbagai permen dan coklat.

Sencha

Teh hijau yang biasa diminum sehari-hari, dibuat dari daun yang dibiarkan terpapar sinar matahari.

Genmaicha

Teh jenis bancha dengan campuran butiran beras yang belum disosoh (genmai) yang dibuat menjadi berondong. Teh mempunyai aroma wangi butiran beras yang setengah gosong.


Kabusecha

Teh jenis sencha yang daunnya dilindungi untuk beberapa lama dari terpaan sinar matahari sebelum dipanen. Aroma teh kabusecha sedikit lebih lembut dibandingkan dengan teh sencha.

Bancha

Teh kasar yang dibuat dari panenan yang kedua kali antara musim panas dan musim gugur. Daun teh untuk teh bancha biasanya lebih besar dari daun teh sencha dan aromanya tidak begitu harum.

Hōjicha

Teh yang digongseng di atas penggorengan atau di dalam oven.

Kukicha

Teh berkualitas rendah dari daun teh bercampur tangkai daun teh.






Sepertinya kita sering mendengar English Breakfast Tea, atau bahkan sering membelinya. English Breakfast Tea merupakan teh hitam yang mengandung Assam, Ceylon dan Keemun. Menurut kami teh ini memiliki rasa yang mirip dengang kebanyakan teh hitam di Indonesia. Namun bagaimanakah sejarahnya teh sebenarnya berasal dari Cina ini?

Ada beberapa sejarah sebenarnya tentang teh ini, namun yang paling banyak disebut adalah, bahwa English Breakfast Tea sebenarnya berasal dari negeri Cina, diperkenalkan pertama kali pada tahun 1660, namun baru masuk ke Inggris pada sekitar tahun 1880, di masa kepemimpinan Ratu Victoria.

Kesukaan Ratu pada teh itu kemudian merebak, hingga masyarakat Inggris pun lebih memilih tradisi ngeteh daripada meminum Gin (minuman yang populer saat itu). Hingga akhirnya menjadi gaya hidup.

Salah satu ciri khas English Breakfast Tea adalah, mempunyai warna hitam yang cukup pekat ketika diseduh. Seperti yang kita ketahui, kepekatan warna akiba dari kentalnya teh, sehingga mempunyai unsur rasa yang cukup pahit. Nah, rasa pahit itu dianggap cocok untuk membuat segar ketika bangun tidur.

Kegiatan ngeteh pun akhirnya tidak hanya dilakukan di pagi hari, namun di sore hari. Yang satu ini biasanya dilakukan oleh para sosialita/bangsawan. Karena afternoon tea lebih ke urusan gaya hidup, maka segala sesuatunya tampil begitu cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja. Pun begitu, teh yang diminum sebenarnya tetap sama.

Beberapa waktu yang lalu, saya bepergian ke daerah Tapanuli Selatan. Menghadiri sebuah acara adat khas daerah Tapanuli. Sepulang dari sana, ketika menuju kota Medan, saya singgah di kota Padang Sidempuan, untuk sarapan Sate Padang khas kota tersebut. Saya pun memilih Teh Susu Telur (TST) sebagai minumannya.

Mungkin banyak yang mengira, apakah tidak amis? Karena efek dari telur. Tapi jujur, setelah meminumnya, rasa amis tertutupi dengan kenikmatan yang ada. Tampilan teh tersebut pun memiliki estetika yang cantik dengan tiga tingkat bagian warna. Tingkatan paling bawah berwarna putih yang merupakan tumpukan susu kental, tingkatan bawah berwarna kecokelatan yang merupakan campuran larutan teh, tingkatan paling atas merupakan gumpalan busa hasil kocokan telur (bebek)

Saya pun langsung 'memaksa' jika minuman ini harus bisa disajikan di Kedai Lokalti. Dengan seksama, saya memperhatikan cara pembuatan teh yang sebenarnya berasal dari daerah Minang (Sumatera Barat) tersebut. Setibanya di Jogja, langsung saya praktekkan. Dari beberapa kali praktek yang saya lakukan, hasilnya masih tidak sama dengan apa yang saya minum kota Padang Sidempuan.

Saya dibuat frustasi, hingga akhirnya seorang teman mengenalkan adiknya yang sudah terbiasa membuat minuman yang penuh khasiat tersebut. Pria penyelamat itu bernama Bobby Mutarrafika, seorang pemuda asal Medan dan Padang, tempat asal dari Teh Susu Telur (Teh Talua).

Bobby, mengawali dengan mengaduk telur
Adukan telur pun diberikan teh yang pekat
Inilah hasilnya, Teh Susu Telur (TST)
Kami pun berjanjian di satu malam, dan langsung berkolaborasi dengan beliau. Hanya membutuhkan dua kali ujicoba, hingga akhirnya jadilah Teh Susu Telur yang rasanya sama dengan apa yang saya nikmati di kota Padang Sidempuan. Jika saya adalah Farah Queen, maka saya pasti akan langsung mengatakan "This is it!".

Penasaran, monggo mampir ke Kedai Lokalti, untuk menikmati Teh Susu Telur yang sangat fenomenal di daerah Sumatera tersebut,  



Di daerah Medan (Sumatera Utara), Teh Susu Telur (atau yang lazim disebut dengan TST) merupakan salah satu minuman favorit. Bahkan ada yang menyebutkan, TST adalah minuman paling digemari kedua setelah tuak (minuman beralkohol khas Medan). Ternyata, teh yang dikenal karena rasa dan khasiatnya, justru bukan berasal dari kota tersebut, melainkan dari dataran Minangkabau, Sumatera Barat.

Di daerah asal Malinkundang tersebut, Teh Susu Telur disebut dengan Teh Talua. Talua sendiri artinya adalah telur. Minuman ini dibuat dengan cara kuning telur ayam kampung (Buras) diaduk sampai berbusa bersama gula pasir di dalam gelas, setelah itu di seduhkan air larutan teh panas/mendidih dan diberi susu kental manis didalam gelas tersebut.

Teh talua sangat mudah ditemukan di lapau-lapau (kedai) di ranah Minang. Biasanya minuman ini dinikmati sebagai pembuka hari atau diminum pagi hari sebelum masyarakat minang melakuka aktivitas

Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau meminum teh talua sambil melakukan "Ma Hota" yaitu diskusi/becerita di lapau-lapau, Dimana masyarakat sambil berbagi informasi dan saling berdebat tentang perkembangan, keadaan terkini, negara ataupun situasi dunia secara umum. Meminum Teh Talua dengan Ma Hota adalah suatu kombinasi yang sempurna bagi mereka. Bahkan ada yang menyebutkan, jika meminum Teh Talua dengan tidak melakukan Ma Hota, akan beda rasanya.

Selain itu pula, Teh Talua juga identik dengan kaum borjuis di daerah Minang. Teh Talua biasanya dijadikan sajian para saudagar-saudagar setempat, ataupun perantau yang baru saja kembali, ketika menerima tamu.

Di Medan, Teh Talua pertama kali diketahui berasal dari salah satu kedai teh di Jl.Puri, di kedai nya Pak Haji Puri. Menurut sejarahnya, teh tersebut merupakan campuran dari teh dan telur, tanpa menambahkan susu. Pengunjung yang datang pun menyarankan kepada Pak Haji untuk menambahkan susu kental manis, agar rasanya bisa seperti Teh Talua yang terdapat di Padang. Singkat cerita, beliau pun bereksperiman, dan jadilah Teh Susu Telur.




Menurut catatan sejarah, tanaman teh (camelia sinensis) masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Sepuluh tahun berselang, seorang pendeta bernama F. Valentijn mengatakan bahwa telah melihat perdu teh muda yang berasal dari Cina. tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral Camphuys, di Jakarta. Itulah awal mula tanaman teh masuk Indonesia.

Hingga akhirnya, pada tahun 1827, tanaman tersebut mulai dieperhitungkan, dan ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut. Berhasilnya penanaman dalam luasan yang lebih besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh. untuk membuka landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Pada tahun 1828, di kedua daerah tersebut terdapat ± 180 hektar tanaman teh dengan produksi sekitar 8.000 kg teh kering.

Meskipun Pulau Jawa termasuk surga bagi kebun teh, akan tetapi, kebun teh terluas bukan berada disana, melainkan di Pulau Sumatera, yakni di daerah Kerinci (Propinsi Jambi). Propinsi ini mempunyai daerah dataran tinggi yang indah, tepatnya di kecamatan Kayu Aro. Kawasan ini kaya sekali akan panorama yang sangat menakjubkan,di sini juga terdapat Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).Tak hanya menjadi gerbang untuk pendaki, salah satu daya tariknya yang terkenal sejak jaman dahulu adalah Kebun Teh Kayu Aro.

Perkebunan Teh Kayoe Aro dirintis antara tahun 1925 hingga 1928 oleh perusahaan Belanda, Namblodse Venotschaaf Handle Vereniging Amsterdam (NV HVA). Penanaman pertama dimulai pada tahun 1929 dan pabriknya baru berdiri pada tahun 1932. Sejak mulai dibuka, teh yang dihasilkan adalah teh hitam (ortodox) dan tampil menjadi salah satu teh hitam terbaik di dunia.

Menyusul kesuksesan Inggris dengan teh darjeeling di Bengal Barat, teh kayu aro merupakan proyek pertama Belanda di Sumatera untuk menyaingi monopoli perdagangan teh di Asia. Di zaman kolonial, teh Kayu Aro menjadi minuman Ratu Inggris dan Ratu Belanda.

Dengan ketinggian 1.400-1.600 meter dpl Kebun Teh Kayu Aro merupakan perkebunan teh tertinggi ke dua di dunia setelah perkebunan teh Darjeling di kaki Gunung Himalaya (4.000 m dpl). Perkebunan Teh Kayu Aro memiliki total luas 2.474.69 Ha yang membuat Kebun Teh Kayu Aro menjadi yang terluas di dunia, mengalahkan kebun teh kepunyaan Derjeeling.

Karena pemerintah belum memiliki keberanian untuk mematenkan teh ini, teh asal Kerinci itu kemudian dijual dalam kemasan dengan merek yang berbeda. Dunia lantas mengenalnya sebagai teh asal Inggris, Swiss, Jepang, dan lain-lain. Lipton, produsen teh nomor satu di dunia bahkan menggunakan Teh Kayu Aro sebagai salah satu teh yang digunakan untuk teh premium mereka.

Kedai Lokalti akhirnya mengeluarkan kemasan tubruk dari teh premiumnya, Sebenarnya, rencana kami untuk membuat teh premium kemasan itu ada di bulan November. Tetapi kami majukan demi
mengikuti Creative Gallery Pinasthika 2015 dengan kemasan yang ekslusif.

Kemasan ekslusif teh premium ini kami jual dengan terbatas, hanya 30 yang kami jual, dan akan berlanjut dengan kemasan biasa, pada bulan November nanti.

Karena teh premium, maka hanya ada racikan teh Mantan Manten, Lik Yadi, dan Mba Winarsih yang kami kemas. Untuk setiap kemasannya pun kami jual dengan harga yang sama, yaitu Rp 20.000,00, dengan netto 50gr.


Kami menambahkan cerita/histori tentang teh-teh premium tersebut pada tag yang kami ikat di kemasannya. Dan jangan khawatir untuk membuatnya, kami juga mencantumkan cara pembuatannya pada tag tersebut.

Sampai dengan hari Minggu, kami hanya menjual kemasan tersebut di Taman Budaya Yogyakarta di Creative Gallery Pinasthika 2015, "From Hero to Hore". Setelah hari Minggu, jika masih tersedia, kami baru bisa melakukan pengiriman.

Kembali ke beberapa hari yang lalu, ketika malam penutupan Festival Kesenian Yogyakarta. Ketika itu, Mas Affi Khresna, Chairman dari Pinasthika Festival datang ke kedai. Awalnya beliau menjelaskan tentang acara Pinasthika yang bertema "From Hero to Hore". Tetapi diakhiri dengan kalimat ajakan yang membuat saya percaya tidak percaya.

"Mbok Lokalti ikutan ngeramein Pinasthika", ujarnya
"Wah, Ngeramein bagaimana?" jawab saya sambil mengepel lantai
"Ikutan creative gallery"
"Hah, apa itu creative gallery?" gantian saya yang bertanya.
"Pameran karya kreatif gitu, nampilin karya-karya khas yang unik"
"Jadi, Lokalti ikutan pameran? Apanya yang dipamerin"
"Ya, kreatifitas kamu membuat teh, sekalian jualan juga boleh kok"

Ajakan itu membuat saya kepikiran dan bertanya-tanya. Aneh saja jika teh dipamerkan. Mungkin saya yang kurang pergaulan, karena memang sudah banyak pameran teh yang digelar. Bahkan pameran teh internasional tahun 2014 dihelat di Indonesia, di Bandung. Ah, tapi tetap saja, bagi saya, menikmati teh itu dengan meminumnya, bukan hanya dengan melihat-lihat saja. 

"Teh kok dipamerke, yo wagu" benak saya selama ini.

Tapi semakin saya pikir, saya malah semakin tertantang dan bangga. Teh, minuman sederhana itu, ternyata bisa juga ikutan nimbrung di festival kreatif tingkat nasional macam Phinastika. Atau mungkin juga semakin modern, kata "wagu" semakin memiliki nilai jual. Sama seperti aneka kopi tanpa gula yang sedang merebak. Awalnya memang wagu, tapi ternyata mereka mampu mendobrak dominasi kopi-kopi sachet yang sudah ada.

Entahlah apa yang bakal tersaji di booth Kedai Lokalti pada tanggal 17 hingga 19 September di Taman Budaya Yogyakarta (tempat berlangsungnya Pinasthika) nanti. Mungkin memang wagu jika dibanding dengan belasan karya-karya lainnya.Tapi setidaknya apa yang telah dirintis oleh Kedai Lokalti beberapa bulann ini, memang ada hasilnya, dan bukan hanya dari penikmat teh saja. Dan semoga bermanfaat bagi yang sekedar melihat.

Saya jadi teringat kalimat salah satu guru saya dalam meracik teh, Pakdhe Blontank, "Jangan remehkan urusan teh".


*wagu = aneh/ tidak pantas